Sabtu, 31 Januari 2009

Siap-siap Menyambut Perang Dagang

Perdagangan bebas tampaknya tinggal catatan sejarah. Dalam keadaan resesi ekonomi seperti sekarang, hampir semua negara kini memasuki masa demam proteksionisme.

Indonesia, contohnya. Untuk mengamankan pasar dan melindungi industri dalam negeri, pemerintah akan menunda harmonisasi tarif untuk 324 jenis barang hingga 2010. “Ini permintaan dari para pengusaha,” kata Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu.

Dalam keadaan resesi ekonomi, memang lumrah kalau persaingan dagang antarnegara semakin tajam. Dan kalau sudah menyangkut masalah kepentingan buruh dan industri di dalam negeri, negara yang menganut paham liberal pun sudah tak malu-malu lagi menghambat serbuan barang-barang impor.

Amerika dan Eropa, yang selama ini dipandang paling luwes dan toleran dalam perdagangan, kini berubah jadi sangat proteksionistis. Sejak krisis meletus, Amerika dan Eropa paling getol melontarkan tuduhan dumping kepada mitra dagangnya.

Korbannya adalah negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ada sekitar 46 produk Indonesia yang dicurigai telah melakukan praktik dumping. Tuduhan serupa juga datang dari Australia terhadap 19 produk Indonesia. Akibat tudingan tersebut, produk-produk Indonesia dikenai tarif tambahan sebesar 25%.

Jika ditotal, sejak krisis ada 172 kasus dumping yang dituduhkan 23 negara kepada Indonesia. Tentu saja, sikap proteksionis negara-negara maju akan memukul para pengusaha nasional.

Maklum, negara-negara itu merupakan pasar yang subur bagi produk-produk Indonesia. Ke Amerika, misalnya, pada 2007 Indonesia berhasil membukukan ekspor US$ 11,6 miliar. Angka ini akan terpangkas jika Amerika makin proteksionis.

Seperti halnya negara lain, kini Indonesia pun harus melindungi kepentingan tenaga kerja dan pasar dalam negerinya. Hanya saja, seperti dikatakan Menteri Perdagangan Marie Pangestu, penundaan penurunan tarif bea masuk bagi 324 jenis barang tadi tak terkait dengan FTA (Free Trade Agreenment). “FTA tetap jalan sesuai dengan komitmen,” katanya.