Kamis, 22 Januari 2009

KPPU: Tata Niaga Pupuk Picu Kelangkaan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai kelangkaan pupuk bersubsidi yang sering terjadi saat musim tanam dipicu oleh aturan tata niaga pupuk bersubsidi yang menimbulkan praktik kartel dan penetapan harga jual yang tidak wajar.

"Langkanya pupuk saat dibutuhkan dan harga jual yang di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) itu tidak wajar. Dua indikasi itu menimbulkan dugaan kuat adanya praktek monolopi atau persaingan usaha yang tidak sehat," kata Ketua KPPU Benny Pasaribu di Jakarta, Kamis (22/1).

Menurut analisis KPPU, praktik kartel juga terjadi pada distribusi pupuk non-subsidi dipicu oleh aturan tata niaganya yang menggunakan sistem rayonisasi. "Pupuk non-subsidi tidak diatur tapi secara sistematis juga berlaku rayonisasi, kan seharusnya tidak begitu," ujarnya.

Benny mengatakan, meski pupuk bersubsidi langka seharusnya pupuk non-subsidi tetap mudah ditemukan. Namun kenyataannya pupuk non-subsidi pun sulit ditemukan karena ada kesepakatan menerapkan rayonisasi sehingga tidak terjadi persaingan usaha yang sehat.

"Itu melanggar Undang-undang anti monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. UU nomor 5/1999 ini melarang dilakukannya pembagian wilayah distribusi," jelasnya.

KPPU juga menilai telah terjadi penetapan harga secara sistemik oleh semua pabrik yang menyebabkan harga pupuk non-subsidi lebih tinggi dari harga pupuk impor. "Selama Desember 2008 saja, perbedaan harga pupuk impor dan lokal sekitar Rp1.000 per kg," ungkapnya.

Benny mengatakan KPPU telah mengirimkan surat pada seluruh pabrik pupuk untuk segera mengantisipasi kelangkaan yang terjadi di wilayah distribusi yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, produsen juga diminta menurunkan harga pupuk yang tidak wajar.

"Kami juga mengirimkan surat pada menteri terkait (Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan) untuk meninjau kembali aturan tata niaga pupuk bersubsidi," katanya.

Sementara itu, Direktur Kebijakan Persaingan KPPU, Taufik Ahmad mengatakan, tidak adanya mekanisme pasar dalam industri pupuk bersubsidi mengakibatkan proses distribusi hanya menjadi sistem logistik saja. Selain itu, pengawasan terhadap produksi dan disribusi juga masih lemah.

"Seringnya terjadi kelangkaan karena tidak ada sanksi tegas dan pengawasan yang ketat. Munculnya potensi kartel di antara produsen pupuk terjadi karena adanya pembagian wilayah distribusi yang rigid," ujarnya.

Dugaan praktik penguasaan pasar terjadi dalam bentuk diskriminasi dalam pemilihan distributor. "Pemilihan distributor yang terjadi jauh dari prinsip persaingan usaha," katanya.

Meski pemerintah telah menetapkan syarat-syarat untuk menjadi distributor, namun produsen tetap diberi kewenangan menetapkan syarat-syarat tambahan. Persyaratan tambahan seperti garansi perbankan yang tidak rasional berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.

"Contohnya penolakan menjadi distributor di wilayah tertentu dengan alasan keuntungan tidak memadai. Padahal secara ekonomis masih memungkinkan menambah distributor," jelasnya.

KPPU menduga telah terjadi praktek monopoli yang dilakukan atas kerjasama produsen dan distributor untuk menahan penyaluran pupuk bersubsidi sehingga menimbulkan kelangkaan dan harganya melampaui HET yang ditetapkan.