Minggu, 11 Januari 2009

Stimulus Melenceng Krisis Mengancam

Penurunan BI rate menjadi 8,75%, inflasi tahunan 11,06% dan dua kali penurunan BBM, tidak sepenuhnya mencerminkan pulihnya ekonomi. Pasalnya, imbas krisis ekonomi global terus mengintai. Apalagi jika kebijakan stimulus mandeg.

Jika tidak diantisipasi dengan stimulus fiskal yang tepat, pertumbuhan ekonomi di 2009 hanya bisa mencapai 4,5% hingga 5% yang mencerminkan pemerintah tidak melakukan apapun atas krisis saat ini.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, mengaku optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5-5,5% pada akhir 2009. Angka itu didasarkan pada trend penurunan BI rate, inflasi dan BBM. Pertumbuhan pada level itu akan tercapai jika stimulus fiskal yang dikeluarkan pemerintah berjalan efektif dan efesien.

Sebaliknya, jika hal itu tidak berjalan dengan baik, maka yang berlaku adalah skenario pesimistis yakni 4,5-5%. “Artinya pemerintah tidak melakukan apapun atas krisis saat ini. Program-programnya tidak berhasil,” katanya, di Jakarta, Minggu (11/1).

Karena itu, pertumbuhan 5-5,5% harus ditopang dengan stimulus fiskal yang benar-benar direncanakan dengan hati-hati. Pasalnya, Indonesia sudah tidak lagi bisa berharap pada pasar ekpor yang sedang lesu darah.

Harapan satu-satunya mendorong pertumbuhan adalah stimulus fiskal yang signifikan. Sebelumnya, pemerintah menyiapkan dana Rp 50 triliun untuk stimulus fiskal guna menopang pertumbuhan ekonomi dan mengatasi dampak krisis keuangan global tahun ini.

Alokasi dana senilai Rp 50 triliun itu berasal dari sisa anggaran pada 2008 senilai Rp 38 triliun dan dana yang telah dicadangkan dalam APBN 2009 senilai Rp 12 triliun. Stimulus dari sisi fiskal, lanjut David memiliki dua tujuan, agar pertumbuhan tidak terlalu rendah dan penyerapan tenaga kerja.

Untuk mendorong pertumbuhan, pemerintah harus menjalankan kombinasi stimulus fiskal yakni tax stimulus dan pengeluaran pemerintah yang dijalankan secara efektif dan efiesien. Namun, David kurang percaya, pengeluaran pemerintah bisa berjalan secara efektif. Pasalnya, koordinasi pemerintah pusat dan daerah sangat minim.

Kelemahan belanja pemerintah, lanjut David, adalah pengeluaran yang selalu numpuk di akhir tahun. “Jadi tidak tersebar merata sepanjang tahun,” katanya. Kelemahan lain adalah adanya kecenderungan inefisiensi dalam pengertian kebocoran atau korupsi anggaran hingga 10-20%.
Sedangkan tax stimulus bisa berupa pengurangan pajak dan bea masuk. Tax stimulus ini bisa merangsang dunia bisnis terutama Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jika UKM bisa diberdayakan, pengangguran yang sebagian besar merupakan alumni SMA bisa dibidik secara tepat. Dari 9% pengangguran, setengahnya merupakan alumni SMA.

David mengakui, perlambatan ekonomi Indonesia tidak separah negara-negara tetangga. Singapura, kata David diproyeksikan pertumbuhannya minus 1-2% tahun ini. Begitu juga Malaysia yang 70% ekonominya tergantung terhadap ekspor. Hal serupa terjadi juga dengan Thailand.
Dibandingkan negara-negara tetangga harusnya Indonesia lebih kuat karena jumlah penduduk dan potensi alamnya. Indonesia harus fokus ke ekonomi domestik, penguatan sektor konsumsi dan juga manufaktur untuk memenuhi permintaan dalam negeri.

Indonesia seharusnya bahagia, meski harga komoditas turun, namun memiliki pasar domestik yang cukup besar. Pasar domestik yang besar itu harus diberikan stimulus fiskal tadi.
Selain itu, Indonesia juga harus memastikan jangan sampai terjadi penyelundupan alias impor ilegal. Pasalnya, di saat resesi ekonomi, pasti banyak negara yang melakukan dumping akibat barangnya tidak laku dijual di negaranya sendiri.

“Indonesia juga harus kreatif mencari pasar baru di Timur Tengah, Amerika Latin dan Pasar di Asia sendiri yang cukup besar potensinya. Jangan berharap dari pasar Amerika dan Eropa yang juga melambat,” imbuhnya.