Senin, 19 Januari 2009

Terigu Turun Bukan Faktor BBM

Penurunan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) tidak berpengaruh terhadap harga terigu. Meskipun saat ini harga terigu rendah, bukanlah disebabkan faktor energi, melainkan akibat penurunan harga gandum di pasar internasional.

Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), Ratna Sari Loppies mengatakan, faktor energi dalam ongkos produksi terigu sangat kecil, yakni 3%. Angka sebesar itu tidak sepenuhnya dari kebutuhan listrik, melainkan juga solar. Bahkan ketika harga energi naik beberapa bulan yang lalu, harga terigu tetap alias tidak naik.

Harga terigu, lanjut Ratna Sari, hanya dipengaruhi dua hal, yaitu harga gandum internasional dan nilai tukar rupiah. Harga terigu saat ini memang turun, tapi bukanlah karena faktor penurunan BBM dan TDL melainkan akibat penurunan harga gandum internasional.

“Harga gandum internasional sangat berpengaruh terhadap harga terigu karena 85% hingga 90% biaya industri terigu adalah gandum,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (14/1).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (12/1), mengumumkan, harga premium turun Rp 500 menjadi Rp 4.500 per liter. Sementara solar turun menjadi Rp 4.500 dari Rp 4.800 per liter berlaku sejak 15 Januari 2009. Penurunan BBM, diikuti juga dengan penurunan TDL untuk industri rata-rata 8,5% hingga 15% pada beban puncak.

Dari sisi distribusi terigu, lanjut Ratna, penurunan BBM tidak berpengaruh terhadap tarif angkutan barang. Pasalnya, industri terigu kelompok besar bisa mengatur distributor dalam menentukan tarif akibat pendistribusian dalam jumlah banyak.

Bahkan ketika harga BBM naik pada Mei 2008 sebesar 28,7%, pihak industri bisa menekan kenaikan tarif transportasi pada level yang wajar. Namun, hal ini tidak berlaku bagi industri kecil. Naik-turunnya BBM sangat berpengaruh pada ongkos distribusi mereka.

Pasalnya, industri kecil biasanya hanya menyewa satu truk saja. Sedangkan industri besar bisa menyewa ribuan kali per hari. “Jadi kita bisa mengatur harga distributor,” katanya.

Namun demikian, Ratna berharap setelah turunnya harga BBM dan TDL, produksi terigu bisa ditingkatkan hingga 5%. Setelah krisis, pangsa pasar terigu turun hingga 16%. Padahal sebelumnya tidak pernah permintaan terhadap terigu turun setajam itu. “Penurunan 16% itu hampir setara dengan 500 ribu ton terigu,” paparnya.

Ratna Sari juga berharap, hingga pelaksanaan Pemilu 2009, produksi terigu bisa ditingkatkan lagi. Pasalnya, pada masa-masa pemilu akan banyak uang beredar di masyarakat akibat pesta demokrasi. Namun, setelah Pemilu, Ratna khawatir demand-nya anjlok lagi akibat ancaman PHK yang terus mengintai.

”PHK sedang mengintai di depan pintu. Jadi saya tidak tahu apakah permintaan dan produksi bisa tumbuh,” tegasnya. Karenanya, Ratna mengharapkan pemerintah bisa mengantisipasi terjadi gelombang PHK paska pemilu.

Sejak terjadinya krisis, harga terigu sudah mengalami penurunan signifikan. Harganya sudah turun 18% jika dihitung dalam rupiah. Sedangkan jika dihitung dalam kurs dolar, harganya sudah turun 36% akibat nilai tukar yang terus naik. Harga terigu saat ini Rp 132 ribu hingga Rp 141 ribu per pak (ukuran 25 kilogram) eks-industri.

Aptindo juga berharap pemerintah meninjau kembali pemberlakuan PPN 10% bagi industri terigu yang berlaku mulai 1 Januari 2009. Walaupun efeknya terhadap kenaikan harga terigu tidak terlalu besar namun jika ditanggung pemerintah, akan semakin menggairahkan perekonomian.

Langkah itu juga bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengantisipasi orang-orang yang terkena PHK. Mereka biasanya lari ke sektor informal untuk bidang pangan yaitu menjadi pengusaha kue-kue.

Jika PPN 10% itu ditanggung pemerintah, akan berakibat kepada harga terigu yang makin murah. Alhasil, harga terigu bisa menjadi lokomotif harga barang-barang lainnya. Karena, ketika permintaan terhadap terigu turun maka permintaan terhadap gula ikut turun demikian pula mentega, dan komoditi yang lain.