Rabu, 14 Januari 2009

Industri Transportasi Mirip Oligopoli

Pemerintah bingung. Tarif angkutan, tidak turun juga meski harga BBM sudah turun. Dalam pasar bebas, harusnya harga bergerak turun jika biayanya juga turun. Masalahnya industri tranportasi mirip oligopoli, bahkan mungkin kartel, tarif ditentukan asosiasi.

Bukan saja tarif angkutan yang tidak turun-turun, melainkan nyaris semua harga barang dan jasa yang terlanjur naik beberapa bulan lalu akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) juga tak bisa turun lagi harganya.

Akibatnya penurunan harga BBM praktis tidak memiliki manfaat langsung bagi masyarakat penggunan transportasi umum. Daya beli masyarakat juga tetap tidak membaik karena harga sembako tetap tidak berubah.

Dan, pemerintah hanya bisa menghimbau agar pengusaha menurunkan harga, lebih dari itu tak ada lagi yang bisa dilakukan. Ini ekonomi pasar, bukan ekonomi komando dimana pemerintah bisa mengontrol harga.

Khusus tarif angkutan, pemerintah sangat tergantung pada organisasi yang mewadahi pengusaha otobus. Sudah dua kali harga BBM diturunkan pemerintah, nilainya Rp 1.000, tapi apa yang terjadi? Pengusaha angkutan bergeming. Tarif yang sudah naik tak diturunkan.

Kini, penurunan harga BBM untuk ketiga kalinya akan diberlakukan 15 Januari, sehingga harga premium kembali ke harga awal sebelum terjadi gejolak harga minyak mentah dunia, yakni Rp 4.500 per liter. Namun, tak ada tanda-tanda tarif akan turun, setidak-tidaknya belum ada sinyal kuat dari organisasi pengusaha angkutan.

Organisasi para pengusaha anggutan darat itu, yakni Organda, memiliki kekuasaan besar untuk menentukan tarif, sehingga industri ini memiliki perilaku oligopoli, kalau tak mau mengatakan kartel. Bahkan untuk angkutan pinggir kota, jauh lebih sulit lagi mengharapkan tarifnya turun.

Para pengusaha angkutan itu berkilah, biaya BBM hanya sebagian dari biaya angkutan. Ada biaya suku cadang dan sebagainya yang ternyata masih mahal. Jika alasan itu benar, lalu kenapa pengusaha angkutan itu langsung berteriak dan serta merta menaikkan tarif ketika pemerintah menaikkan harga BBM.

Masalahnya menjadi rumit karena Indonesia menghadapi pemilihan umum. Kebijakan menurunkan harga BBM yang memang sudah seharusnya dilakukan karena harga minyak mentah sudah normal kembali, berubah menjadi ajang politisasi.

Para penentang pemerintah melihat kebijakan ini dipakai sebagai kampanye untuk mencari simpati pemilih. Harus diakui pemerintah memang mendapat simpati dari pemilih dengan menurunkan harga BBM tiga kali dalam tempo singkat. Dan, memang itulah keuntungan presiden yang sedang memerintah.