Kamis, 22 Januari 2009

Sarwani, Bertahan dengan Kerupuk Ubi

Hujan belum reda saat Tempo menyambangi kediaman Sarwani, Rabu pekan lalu. Dibantu dua anaknya, perempuan 48 tahun itu sibuk memindahkan kerupuk ubi basah yang sedang dijemur ke tempat teduh. Bale-bale di belakang rumahnya penuh sudah. Mereka beradu cepat dengan hujan yang mengguyur deras wilayah pedalaman Aceh Besar itu.

Ubi kayu itu adalah bahan baku utama kerupuk yang biasa diproduksi Sarwani sejak 1980-an. "Kalau hujan terus, produksi akan gagal, kerupuk ubi basah akan berjamur," ujar Sarwani.

Ia mendapatkan bahan baku itu dari warga sekitar. Satu karung ukuran 50 kilogram dibelinya seharga Rp 85 ribu. Kerupuk ubi yang diproduksi berbahan baku ubi kayu, tepung, dan garam. Awal produksi, ubi dikupas. Setelah dicuci, kemudian dihaluskan dengan mesin kukur. Setelah itu, dicampur dengan adonan tepung dan garam.

Lalu campuran itu dibungkus dengan plastik sebesar paha orang dewasa seperti membungkus lontong, dan dikukus sampai masak. Setelah masak, bahan yang mirip bantal itu diiris tipis hingga berbentuk lempengan. "Kemudian dijemur sampai kering, dan itulah kerupuknya. Sebelum dimakan, digoreng dulu," Sarwani menjelaskan.

Di Desa Cot Suwe, Kemukimam Lam Pakuk, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, dia bukanlah satu-satunya warga yang memproduksi kerupuk ubi. Tapi Sarwani diakui warga sebagai perintis usaha ini. Meski lahir di desa itu, orang tuanya adalah perantau dari Jawa Timur. Mereka petani.

Tak ada keahlian khusus dan ilmu yang diperoleh sebelumnya oleh Sarwani. Semuanya berawal dari coba-coba. Produksi di awal usahanya pada 1980-an juga kecil. "Dulu satu kilo kerupuk hanya Rp 500," ujarnya. Dia terus melakukan produksi, kendati konflik Aceh memanas pada 1998-2004.

Perlahan, aktivitasnya diikuti saudara-saudaranya di desa itu. Produksi kerupuk ubi makin ramai. Semuanya dikerjakan manual. Mesin kukur berbahan bakar premium baru digunakan pada 1997, ketika aliran listrik masuk desa.

Pasca-tsunami pada akhir 2004, produksi sempat melimpah. Ada saja orang yang datang memesan ke tempatnya. "Mungkin di Banda Aceh tak ada orang yang membuat kerupuk lagi akibat bencana, jadi banyak yang memesan kepada saya," tutur Sarwani.

Kerupuk produksi Sarwani diberi label "Kerupuk Ubi Renyah". Satu kemasan plastik setengah kilogram dipatok seharga Rp 5.000. Dalam sehari ia bisa memproduksi 10-15 kilogram pada cuaca panas. "Kalau hujan dan mendung, produksi terganggu, karena kerupuk ubi tidak kering," katanya.

Kerupuk Ubi Renyah buatan Sarwani dengan mudah bisa didapatkan di pasar-pasar Lambaro dan Seulimum, Aceh Besar. Dari sana, keripik ubinya sampai ke Banda Aceh, yang hanya berjarak 3 kilometer dari Lambaro. Otomatis, kerupuk ubinya hanya ada di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Modal yang cekak membuat produksi tak bisa massal dan pemasaran amat terbatas. Ia tak mau meminjam modal dari bank. Bunga pinjaman yang besar membuat Sarwani tak berani ambil risiko. "Takut tak dapat mengembalikannya nanti," katanya.

Namun, awal tahun ini dewi fortuna menghampirinya. Pinjaman modal datang dari Qatar Charity Indonesia cabang Aceh. Lembaga itu memilih Sarwani sebagai salah satu dari empat penerima manfaat program pemberdayaan ekonomi tahun 2008 untuk proyek pembuatan kerupuk. Jumlahnya kecil. Per kelompok hanya mendapat Rp 5 juta. Dibagi 10 orang, Sarwani kebagian Rp 500 ribu. Dana itu harus dikembalikan dalam tempo setahun, tanpa bunga.

Tapi lumayanlah. Sejak menerima tambahan modal usaha dari Qatar Charity, Sarwani mampu menambah volume produksi hariannya. Sementara sebelum menerima bantuan tersebut Sarwani hanya mampu mengolah 40 kg ubi kayu, saat ini dia telah bisa menghabiskan 60 kg ubi kayu per hari.

Dengan omzet seperti itu, dia mengaku cuma meraup laba bersih sekitar Rp 2-3 juta per bulan. Sebagian uang ditabung dan lainnya habis untuk kebutuhan sehari-hari. "Dengan kerupuk ubi, kami hidup. Kami ingin usaha ini besar," ujarnya.