Selasa, 06 Januari 2009

Ekspor 2009 Anjlok

Pertumbuhan nilai ekspor diproyeksikan anjlok dari 18 persen pada 2008 menjadi sekitar 4,3 persen sampai 8 persen pada 2009. Proyeksi ini dibuat dengan memperhitungkan respons kebijakan terhadap resesi global. Tanpa ketepatan respons, penurunan akan lebih tajam.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di Jakarta, Selasa (6/1), menjelaskan, pertumbuhan ekspor 2009 dibuat dengan memperhitungkan proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia, depresiasi nilai tukar rupiah, serta penurunan harga komoditas. Selain faktor eksternal, respons kebijakan yang sudah dan akan dilakukan pemerintah juga turut menentukan.
Tanpa respons kebijakan yang tepat, Departemen Perdagangan memperhitungkan, nilai ekspor nonmigas hanya akan tumbuh 0,9 persen.

”Berbagai upaya sudah dan akan dilakukan pemerintah untuk tetap mendorong ekspor, antara lain dengan pembiayaan perdagangan, stimulasi investasi, diversifikasi pasar, perbaikan produksi, serta penguatan ker- ja sama perdagangan,” tutur Mari.

Dengan berbagai upaya tersebut, pemerintah menyusun tiga skenario pertumbuhan nilai ekspor pada 2009. Berdasarkan skenario paling optimis, nilai ekspor nonmigas diperkirakan tumbuh 8 persen.

Pada skenario moderat, pertumbuhan diproyeksikan 6 persen. Pada skenario paling rendah, pertumbuhan nilai ekspor nonmigas 4,3 persen. Pemerintah masih akan terus meninjau proyeksi itu dengan mempertimbangkan perkembangan pasar internasional.
Pada World Economic Outlook, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan volume perdagangan dunia anjlok dari 4,6 persen pada 2008 menjadi 2,1 persen pada 2009.

Neraca perdagangan
Seiring dengan penurunan ekspor, pertumbuhan nilai impor Indonesia pada 2009 juga diproyeksikan turun signifikan. Hal ini dikarenakan terjadi penurunan investasi, harga komoditas, dan laju ekspor.

”Karena penurunan impor, neraca perdagangan barang akan kurang lebih sama atau hanya sedikit lebih rendah dari tahun 2008,” ujar Mari.

Meski melemah, permintaan terhadap produk primer seperti minyak kelapa sawit, batu bara, dan kakao dari Indonesia relatif tetap tinggi.

Indonesia juga berpeluang mengoptimalkan pengalihan pembelian dari China, antara lain untuk produk alas kaki, garmen, makanan olahan, dan mainan anak.

Menyikapi perlambatan pertumbuhan ekspor akibat resesi global, menurut Mari, menjadi amat penting untuk menjaga sumber pertumbuhan dari dalam negeri.