Rabu, 24 Desember 2008

Daya Beli Bisa Ancam Pangan

Pemerintah menjamin keamanan pangan. Namun jaminan itu harus ditopang oleh kedaulatan pangan dalam negeri serta daya beli masyarakat. Jika tidak, krisis pangan akan mengancam dan berimbas pada gejolak sosial dan politik.

Direktur Eksekutif Advisory Group in Economics, Industry, and Trade (Econit) Hendri Saparini mengingatkan, walaupun ketersediaan pangan terjamin tapi jika masyarakat tidak bisa menjangkaunya maka akan menjadi masalah.

Pertanyaannya, lanjut Saparini, apakah masyarakat bisa menjangkau produk pertanian atau tidak. Jika di masyarakat terjadi banyak PHK, inflasi tinggi sehingga pangsa pasar petani tidak ada, yang terjadi kemudian adalah kesejahteraan pun merosot yang ditandai dengan daya beli yang menurun.

“Jika masalah stabilitas harga ini tidak bisa ditangani pemerintah, persoalan ini akan menjadi ancaman serius terhadap ketahanan pangan,” papar Hendri, di Jakarta, Jum’at (19/12).

Ia juga memaparkan, Indonesia masih harus mengimpor produk komoditas pangan sehingga patut dipertanyakan jika jaminan pangan seperti yang dijanjikan pemerintah ditopang oleh impor.
“Barang impor masuk maka harga jual juga menjadi rendah dan daya saing semakin terpuruk. Akibatnya, petani dalam negeri kehilangan pangsa pasarnya,” paparnya.

Pemerintah lanjut Hendri, jangan sampai memilih kebijakan yang kurang tepat. Ia mencontohkan stabilisasi harga minyak gorang. Di saat harga naik dua kali lipat, pemerintah memberikan subsidi kepada produsen minyak goreng.

Harapannya, jika produsen diberi subsidi maka harga minyak goreng akan turun. “Tapi ternyata minyak goreng tidak turun-turun,” tukasnya.

Beberapa produk strategis pangan, lanjut Hendri, seperti gandum, gula, kedelai, dan susu masih mengandalkan impor dengan jumlah yang sangat signifikan. ”Untuk susu bubuk, keju, dan lain sebagainya kita masih impor hingga tiga perempat kebutuhan domestik. Jadi memang signifikan,” ujar Hendri.

Pada 2000, Indonesia mengimpor gandum 6,037 juta ton. Lima tahun kemudian, di 2005, impor gandum naik hampir 10% menjadi 6,589 juta ton. Di 2025, diproyeksikan impor gandum akan meningkat tiga kali lipat menjadi 18,679 juta ton.

Impor kedelai dalam lima tahun terakhir (2003-2007) rata-rata 1.091 juta ton atau mencapai 60,5% dari total kebutuhan. Ketergantungan pada impor juga terjadi pada daging sapi. Impor dalam bentuk daging dan jeroan beku per tahun mencapai 64 ribu ton. Adapun impor sapi bakalan setiap tahun sekitar 600 ribu ekor.
Krisis saat ini, kata Hendri, harus dijadikan momentum untuk kemandirian pangan. Jangan sampai di saat negara-negara lain sudah bangkit dari krisis, Indonesia akan merasa seolah rebound tapi ketergantungan terhadap impor sangat besar.

Untuk menekan impor, lanjut Hendri, pemerintah harus menaikan tarif bea masuk. Sedangkan saat ini, tarif-tarif untuk pertanian sudah dipangkas habis bersamaan dengan Letter of Intent IMF (kesepakatan dengan IMF).

Jika tarif impor tetap dipangkas habis, produk komoditas pangan dalam negeri akan kebanjiran barang impor. Akibatnya, petani dalam negeri kehilangan pasar mereka dan daya saingnya. “Akhirnya, pangan dalam negeri tidak berdaulat lagi,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) LIPI Mahmud Thoha mengatakan krisis pangan yang dirasakan di dunia, sebenarnya belum berakhir. Krisis likuiditas yang muncul pada paruh kedua tahun ini justru menunda pemulihan sektor pangan, meskipun harga komoditas pangan dunia cenderung mulai turun.
"Ketatnya likuiditas di negara-negara maju otomatis akan mengurangi bantuan sektor pangan ke negara-negara berkembang seperti juga ke Indonesia," ujarnya.

Untuk itu, dia menyarankan pemerintah agar benar-benar menerapkan kebijakan yang mendorong ketahanan ekonomi domestik dengan fokus pada penguatan ketahanan pangan dan kemandirian energi.

Jika pangan tidak tersedia, lanjutnya, yang menimpa negeri ini tidak hanya persoalan ekonomi, tetapi juga kerusuhan sosial dan gejolak politik. Apalagi tahun depan merupakan tahun saat kegiatan pemilu berlangsung.
Teddy Lesmana, peneliti bidang ekonomi LIPI, menilai secara makro persediaan pangan di Tanah Air masih mencukupi karena beberapa komoditas kebutuhan pangan masih dipenuhi lewat impor.
Namun secara mikro, krisis pangan telah terjadi di tingkat keluarga terutama di pedesaan terpencil terutama kelompok masyarakat yang mengandalkan pertanian untuk hidup.

Penurunan harga komoditas pangan belakangan ini, katanya, tidak membantu memulihkan kondisi tersebut, namun justru berpotensi memunculkan kelangkaan pangan karena keengganan petani untuk bertani.
Harga jual petani melorot tajam yang berujung pada penurunan produksi. Pangan bisa langka di pasaran, apalagi lahan pertanian dikonversi untuk pengembangan energi alternatif, begitu juga konversi lahan untuk proyek tol, terutama di Jawa.